Instrumen Klasik Analisis Modernitas
NGAJIKUY.ID | "Jika meniru tindakan para ulama terdahulu, maka setiap fenomena baru harus dianalisis dan dinilai, baru ditentukan langkah untuk menyikapinya secara syar'i. Sehingga, seharusnya modernitas juga disikapi dengan bijaksana."
Hukum
alam yang saya yakini adalah, “kullu maujudin siwa Allahi yujadu wa yafnaa,
yataghayyaru hiinan ba’da hiinin.” Artinya, segala sesuatu selain
Allah akan muncul kemudian hilang, berubah dari waktu ke waktu. Hukum alam
semacam ini, diakui atau tidak, menggambarkan dunia sebagai sesuatu yang
dinamis, alih-alih statis. Dunia selalu berubah.
Jika
ditelaah lebih lanjut, perubahan dunia pada bentuk yang lebih baru sering
dianggap sebagai modernitas. Meski sebenarnya modernitas bisa digolongkan
sebagai hal yang relatif. Pasalnya, hal-hal yang dinilai sebagai perkara kuno
saat ini, nyatanya pernah dianggap sebagai hal baru dan modern di masanya. Dan
hal yang sama juga akan berlaku pada hal yang saat ini kita anggap baru dan
modern. Suatu saat, hal tersebut akan dinilai sebagai suatu hal yang kuno
bahkan primitif. Likulli halin zamanun, wa likulli zamanin halun. Setiap
keadaan memiliki masanya sendiri, dan setiap zaman memiliki keadaannya sendiri.
Kesadaran
akan hal semacam ini seharusnya membawa kesimpulan yang sederhana, bahwa
modernitas bukan hal yang harus — dan memang tidak seharusnya — dihindari, namun dihadapi.
Menilai modernitas sebagai hal yang harus dihadapi atau dihindari bukan lagi
persoalan yang relevan untuk dibicarakan.
Lantas, apakah modernitas harus diterima bulat-bulat?
Tidak juga. Meski perubahan, modernitas dan hal-hal baru merupakan suatu hal yang mutlak dihadapi, namun bukan berarti semuanya harus diterima dan diadopsi mentah-mentah tanpa analisis yang logis dan syar’i. Jika meniru tindakan para ulama terdahulu, maka setiap fenomena baru harus dianalisis dan dinilai, baru ditentukan langkah untuk menyikapinya secara syar’i. Sehingga, seharusnya modernitas juga disikapi dengan bijaksana.
Lagipula, sebenarnya ulama terdahulu — setidaknya yang telah mendahului masa kita — sudah menyusun instrumen sederhana sebagai bekal untuk menganalisis fenomena-fenomena baru. Instrumen ini sudah sangat akrab di telinga, al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah, menjaga hal kuno yang masih layak dan mengambil hal baru (modern) yang lebih layak.
Dari instrumen sederhana ini, ada dua kata yang bisa dijadikan standar untuk menganalisis fenomena yang terjadi, yakni al-shalih dan al-ashlah. Bagi beberapa orang, dua kata ini diberi makna sebagai ‘baik’ dan ‘lebih baik’. Namun, tampaknya makna yang lebih mengena sasaran adalah ‘layak, patut, relevan’ dan ‘lebih layak, lebih patut, lebih relevan’. Pasalnya, hal yang baik ataupun lebih baik tak selalu patut, layak, dan relevan untuk dipakai.
Sebaliknya, hal yang patut, layak dan relevan hampir bisa dipastikan membawa
kemaslahatan, meski dalam beberapa kasus juga tak sepenuhnya sepi dari risiko
mafsadah. Sebab, indikator utama untuk menentukan kelayakan serta relevansi
suatu hal adalah kemaslahatan, yang jika ditimbang dengan mafsadah maka nilai
maslahatnya lebih besar.
Jika
ditelaah lebih lanjut lagi, dalam instrumen klasik ini setidaknya ada dua unsur
yang paling fundamental. Pertama, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, menjaga
hal kuno yang masih relevan. Unsur ini penting, sebab dalam mengangalisis
modernitas, sering kali — meski tidak selalu — dihadapkan pada keadaan vis a vis antara hal
kuno dan hal baru. Selain itu, dalam menyikapi modernitas ada hal lain yang tak
bisa dipisahkan, yakni memposisikan hal kuno, apakah ditinggalkan dan
digantikan sepenuhnya dengan yang lebih modern, atau tetap dipertahankan meski
sambil mengadopsi hal yang lebih modern.
Kedua,
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Mengadopsi hal baru yang lebih relevan.
Unsur ini menegaskan bahwa tidak semua hal baru harus diadopsi. Hal-hal baru
yang bisa dan sepatutnya diadopsi adalah hal-hal yang relevan dan mengandung
kemaslahatan. Alih-alih mengadopsi secara bulat-bulat perkara modern. Pasalnya,
diakui atau tidak, ada beberapa hal modern yang lebih cenderung bersifat
destruktif daripada konstruktif. Padahal, paradigma utama dalam adopsi hal-hal
yang baru adalah progresivitas, sehingga mengadopsi hal-hal yang tidak relevan
dan destruktif justru kontradiktif dengan tujuan dasarnya.
Pada
akhirnya, muara akhir dari analisis ini, dalam menyikapi secara syar’i fenomena
yang dinamis, adalah progesivitas, relevansi dan kemaslahatan. Sehingga, apapun
yang bertolakbelakang dengan prinsip ini tak sepatutnya dipertahankan, jika
merupakan hal yang kuno, dan tak sepatutnya diadopsi, jika merupakan hal yang
baru dan modern.
Maka, dari sudut pandang ini instrumen al-muhafadzoh ‘ala al-qadim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah akan mengamini serta merupakan bentuk praktis dari teori yang telah disampaikan oleh Ibnu al-Qayyim dalam I’lam al-Muqi’in bahwa fondasi setiap syariat adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan untuk manusia, maka setiap hal yang justru mengandung unsur ketidakadilan – alih-alih berisi keadilan – atau menjerumuskan pada hal yang destruktif – alih-alih mengarah pada yang progresif dan konstruktif – maka bukan tergolong syari’at. Ujungya, jika bukan syariat maka tak layak dipertahankan ataupun diadopsi, baik hal yang kuno ataupun modern.
Kediri, 18 Juni 2021
Penulis adalah mahasantri pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo - Kediri
(fajreyfalah@gmail.com)
Instagram: @falah.fashih
Diskusi