Ma’had Aly dan Wacana Akademisasi Gelar Keagamaan
NGAJIKUY.ID | Hijrah
menjadi satu fenomena yang begitu hangat hingga kini. Syariah dan islami
seakan menjadi life style yang tren di berbagai lapisan sosial
masyarakat. Dari satu sisi, fenomena semacam ini patut diapresiasi. Pasalnya,
muncul gelombang kesadaran di banyak kalangan untuk mengamalkan syariat Islam.
Tentu ini kabar yang menggembirakan. Ini bisa menjadi indikator bahwa dakwah
islamiyah mengalami progres efektif yang muncul ke permukaan.
Masih
di sisi yang sama, tren life style yang islami dan syar’i juga memompa minat
masyarakat untuk mempelajari Islam lebih dalam dan komprehensif. Hal ini
merupakan efek yang tak bisa dipisahkan dari tren yang berkembang tersebut. Dan
tentunya ini juga termasuk kabar menggembirakan. Peningkatan minat belajar
merupakan hal yang patut dan harus diapresiasi.
Sayangnya,
hal-hal yang menggembirakan ini juga masih menyisakan kegelisahan dan
keresahan. Diakui atau tidak, minat masyarakat yang tinggi terhadap belajar
agama tidak diiringi kemampuan dan sumber daya untuk memilih rujukan yang
tepat. Baik rujukan berupa buku, video ataupun guru. Padahal, di saat yang
sama, berkeliaran orang-orang yang belum teruji kepakarannya dalam hal agama
melabeli diri dengan gelar ustadz, kiai dan semacamnya. Bukankah ini mengingatkan pada salah satu pernyataan yang cukup terkenal, idza wussida
al-amru ilaa ghairi ahlihi fantadzir al-sa’ah, jika suatu hal diserahkan
pada orang yang bukan ahlinya maka tunggu saja waktu munculnya kehancuran.
Tentu
orang-orang semacam ini–yang melabeli diri mereka sebagai ustadz atau kiai,
padahal mereka tak memiliki kepakaran dalam hal agama–melihat sebuah peluang
untuk memanfaatkan minat masyarakat yang tinggi terhadap ilmu agama demi
kepentingan mereka sendiri. Asumsi ini nampak mengerikan dan terkesan jahat.
Namun, setidaknya begitulah hal yang nampak.
Ironisnya,
sebenarnya pada hari ini ada ribuan lembaga pendidikan Islam (baca: pondok
pesantren) yang otoritatif dalam mencetak kader kiai, ustadz dan dai. Namun,
kenyataanya di waktu yang sama tidak ada jaminan bagi masyarakat bahwa orang
yang memiliki gelar ustadz dan kiai merupakan orang-orang yang benar-benar
kredibel dalam persoalan agama. Masih banyak oknum-oknum tidak bertanggungjawab
yang mengaku sebagai ustadz padahal tidak memiliki kapasitas keilmuan agama
Islam yang memadai. Ini tentu meresahkan.
Jika
melirik pada konteks lain, oknum yang mengaku-ngaku sebagai polisi bisa
ditangkap bahkan bisa dipidana. Hal serupa juga berlaku pada orang-orang yang
mengaku-ngaku sebagai tentara, dokter ataupun profesi lainnya. Sehingga orang-orang
akan berpikir dua kali untuk mengaku-ngaku menjadi polisi atau sejenisnya. Ini
tentu membuahkan jaminan kepada masyarakat tentangkredibilitas pihak terkait.
Sayangnya,
hal ini berlaku berlaku pada ustadz, kiai dan semacamnya. Orang-orang yang
mengaku-ngaku sebagai ustadz dan kiai tidak bisa dipidanakan. Pasalnya, tidak
ada payung hukum untuk menjerat oknum tersebut. Lagipula, gelar-gelar tersebut
masih dianggap sebagai gelar sosial yang membuat orang merasa bebas
menggunakannya tanpa takut dipidanakan ataupun dituduh sebagai ustadz atau kiai
gadungan.
Tentu
ingatan tentang maraknya ustadz-ustadz yang provokatif dan sering menimbulkan
kesalahpahaman di tengah masyarakat belum hilang. Jika berkaca pada kejadian
tersebut, tak ada tindakan yang bisa diambil oleh masyarakat selain sanksi
moral dan sanksi sosial. Padahal, jika dibandingkan dengan dampak yang
ditimbulkan, maka bisa dinilai bahwa sanksi semacam itu tidak sebanding.
Seharusnya, ustadz dan kiai gadungan harus mendapat sanksi pidana atau perdata.
Namun, kenyataanya tidak ada regulasi yang bisa menjerat oknum-oknum tersebut.
Jika
dihadapkan dengan keresahan ini, salah satu wacana yang bisa menjadi solusi
adalah Ma’had Aly. Dalam beberapa tahun terakhir, Ma’had Aly mengalami
pertumbuhan yang cukup signifikan. Sebagai lembaga pendidikan tinggi formal
keislaman khas pesantren, Ma’had Aly diberikan kewenangan untuk memberikan
gelar akademik pada setiap mahasantri yang dinyatakan lulus. Jika dilihat dari
kewenangan ini, maka Ma’had Aly seharusnya bisa menjalankan peran sebagai pihak
yang berwenang untuk mengakomodir pemberian gelar keagamaan.
Dalam
peran ini, Ma’had Aly difungsikan sebagai pihak yang menjalankan verifying sekaligus
proofing. Ma’had Aly berwenang melakukan verifikasi kepada setiap pihak
yang berhak untuk menerima gelar keagamaan sebelum mereka benar-benar legal menggunakan
gelar tersebut. Di saat yang sama Ma’had Aly juga berwenang untuk melakukan proofing
terhadap orang-orang yang melakukan gelar keagaamaan dan berhak mengajukan
tuntutan pidana atau perdata jika ditemukan bukti yang menunjukkan pada
tindakan yang menyalahi pada regulasi yang telah ditetapkan.
Pendayagunaan
Ma’had Aly semacam ini pada akhirnya bisa memberikan jaminan kepada masyarakat
yang ingin belajar agama. Mereka tidak perlu khawatir terhadap keberadaan
ustadz atau kiai gadungan. Mereka tidak perlu khawatir salah memilih guru,
karena semua orang yang mengenakan gelar keagamaan telah menjalani proses
verifikasi dan proofing dari lembaga yang berwenang. Lagipula, jika
peran ini benar-benar dijalankan maka sebenarnya Ma’had Aly juga telah
mengakomodir wacana sertifikasi ulama yang sempat ramai dibicarakan.
Kabar
baiknya, sebenarnya sudah ada Ma’had Aly yang telah melakukan akademisasi gelar
keagamaan yang awalnya merupakan gelar sosial, yakni Ma’had Aly As’adiyah
Sengkang–Wajo di Sulawesi Selatan. Lembaga ini memberikan gelar KM (Kyai
Muda) pada mahasantri yang telah dinyatakan lulus dan telah menyelesaikan
proses belajarnya. Hanya saja, hal semacam ini kurang masif dilakukan di
lembaga-lembaga lain. Tentunya, ada harapan bahwa akademisasi gelar ustadz atau
kiai bisa diterapkan di Ma’had Aly yang lain untuk melakukan akselerasi
terhadap penekanan angka kasus ustadz atau kiai gadungan.
Oleh: M. F. Falah Fashih
Penulis adalah mahasantri pascasarjana Ma’had Aly Lirboyo – Kediri
(fajreyfalah@gmail.com)
Diskusi